Ketika ‘Cantik’ Bukan Lagi Pujian, dan Ruang Publik Tak Lagi Aman Untuk Perempuan
July 16, 2020
Saya sebel banget deh. Beberapa waktu yang lalu saya berjalan menyusuri trotoar di dekat salah satu stasiun KRL di bilangan Jakarta Selatan. Kala itu, saya baru saja keluar dari kantor sekitar pukul setengah 9 malam dan hendak mengejar kereta arah Bogor untuk pulang ke rumah saya di daerah Depok. Inginnya sih, cepat-cepat sampai stasiun, naik kereta, lalu menikmati perjalanan sambil dengerin musik melalui earphone. Sayang, saya dipaksa untuk menghadapi hal yang nggak mengenakan dulu sebelumnya. Di trotoar, saya menjumpai segerombol lelaki yang entah pekerjaannya apa, tengah nongkrong dengan posisi yang nyaris memblokir setengah badan trotoar. Saya kira, itu aja udah cukup buruk, tapi kemudian salahsatu mereka dengan segala keisengan yang nggak berfaedahnya ‘memanggil’ saya yang kebetulan lewat di depan mereka “Malem-malem sendirian aja neng. Mau kemana?” Begitu ujarnya, sementara kawan-kawannya yang lain tertawa-tawa menyebalkan. Rasa dongkol bercampur takut membuat saya mempercepat langkah menuju stasiun. Dalam hati saya pun berdoa, semoga lelaki-lelaki itu nggak melakukan tindakan yang lebih dari panggilan melecehkan yang baru saja dilontarkan tersebut. Well, luckily, they didn’t. Saya berhasil mencapai stasiun dengan selamat dan melanjutkan perjalanan pulang ke rumah dengan mulus. Tapi apakah masalah hanya selesai sampai di situ? Cantik itu Bukan Pujian Sayangnya nih, gaes, nggak semua perempuan bisa seberuntung saya dalam menghadapi kasus-kasus pelecehan di ruang publik. Banyak yang harus menghadapi bentuk-bentuk pelecehan yang lebih parah daripada sekedar dipanggil atau disiuli dengan iseng oleh mas-mas random di pinggir jalan. Okay, sebelum saya bercerita lebih jauh, mungkin sampai di sini ada beberapa dari kalian bingung, bagian mana dari cerita saya di atas yang merupakan pelecehan? Orang jelas-jelas lelaki-lelaki yang saya temui di trotoar itu nggak melakukan tindakan lainnya selain memanggil saya. Apa yang salah dengan memanggil seorang perempuan yang lagi berjalan sendirian di trotoar malam-malam? Mereka ‘kan hanya berusaha ramah, dan lagi bukannya Indonesia terkenal dengan keramahan masyarakatnya? Hm, ada sesuatu yang harus diluruskan nih. Yang saya alami di trotoar dekat stasiun itu bukanlah sebuah usaha keramahan warga sekitar terhadap orang asing, melainkan tindakan pelecehan. Apa yang lelaki-lelaki itu lakukan terhadap saya disebut sebagai tindakan catcalling yang secara sederhana berarti panggilan, teriakan, atau siulan yang bersifat seksual terhadap perempuan yang lewat di jalan. Selain itu, catcalling juga bisa diartikan sebagai sebuah tindakan menyuarakan bebunyian atau keributan kepada seseorang di depan publik yang membuat orang itu tidak nyaman. Kalian mungkin familiar dengan selentingan-selentingan seperti, “Sendirian aja neng. Mau ditemenin?” atau “Cantik, jangan cemberut dong”, atau “Cewek nengok sini dong” yang seringkali dilontarkan oleh orang asing—kebanyakan laki-laki—saat seorang perempuan melintas di hadapannya. Nah itulah yang disebut dengan catcalling, gaes. Tampak harmless dan sepele ya? Padahal sebenarnya, tindakan itu sangatlah mengganggu bahkan menakutkan bagi sebagian orang. Sebuah survey di New Jersey, Amerika Serikat menyatakan bahwa catcalling dapat menyebabkan korbannya tanpa sadar melakukan penilaian atas diri sendiri seperti layaknya ia menilai benda (self-objectification). Nggak jarang, korban catcalling juga harus menghadapi perasaan was-was dan takut (seperti yang saya rasakan) bahwa mereka akan menjadi korban dari tindakan pelecehan seksual yang lebih serius dari si pelaku catcall. Lho, tapi ‘kan kita dipanggil ‘cantik’? Bukannya itu adalah sebuah pujian? Begini ya, orang asing yang tau-tau memanggil kamu dengan sebutan ‘cantik’ di jalan tanpa ada basa-basi apapun, tujuannya sudah pasti bukan untuk memuji. Mereka melakukan hal tersebut semata-mata karena mereka merasa bahwa perempuan adalah sosok dengan ‘derajat’ yang lebih rendah, serta merupakan target mudah bagi mereka untuk menyalurkan kekurangkerjaannya. Kultur berbahaya ini menjadikan para pelaku catcalling merasa punya hak untuk menilai, mengomentari, dan menjustifikasi penampilan serta tubuh sang korban sebagai obyek sesuai kepentingan dan seleranya. Yang kayak gitu masih bisa dibilang pujian? Mengutip dari slate.com, “Catcalling dan fatcalling itu tidak jauh berbeda. Keduanya merupakan sebuah produk dari budaya yang menganggap tubuh perempuan sebagai properti publik, dan keduanya lebih terkait erat dengan insecurity dari pelaku dan keinginannya untuk mendominasi perempuan, daripada tentang bagaimana korban berpenampilan” Ngomong-ngomong soal penampilan, sampai sini udah ada yang terpikir belum, sebuah pertanyaan klasik yang (membuat saya muak setengah mati) kerap ditanyakan kepada banyak korban pelecehan seksual saat mereka berusaha bercerita atau melaporkan pengalamannya? Iya, pertanyaan: “Memangnya kamu pakai baju apa saat itu?” itu. Bukan Tentang Pakaian, Tapi Soal Ruang Publik yang Tak Lagi Aman Tahu nggak, kalau menurut survey yang diadakan oleh Thomas Reuters Foundation, Ibukota kita tercinta alias Jakarta berada pada urutan ke-5 kota dengan moda transportasi publik paling berbahaya bagi perempuan? Lebih lanjut, pada tahun 2016 lalu Komnas Perempuan menyatakan hanya ada 268 kasus street harrassment yang dilaporkan ke polisi, NGO, ataupun Komnas Perempuan sendiri. Padahal, pada bulan lalu untuk di Jakarta sendiri, terdapat lebih dari 200 perempuan yang melaporkan pengalaman street harassment mereka di situs Hollaback.org—sebuah platform internasional yang bertujuan untuk melawan pelecehan seksual di ruang publik. Dilansir dari New York Times, Yuniyanti Chuzaifah, wakil ketua Komisi Nasional Perempuan menyatakan bahwa kekerasan seksual yang terjadi pada perempuan Indonesia adalah sebuah epidemi. “Perempuan harus berani untuk melaporkan kasus pelecehan yang dialaminya, karena aparat kepolisian di sini seringkali tidak bertindak ramah terhadap korban,” ujarnya. “Ada banyak tendensi victim-blaming yang terlibat seolah-olah kasus pelecehan yang dialami oleh perempuan adalah sang perempuan sendiri” Nah. Ini nih masalahnya. Masih banyak orang yang menganggap bahwa kasus pelecehan seksual terjadi karena korban memakai pakaian yang nggak sesuai dengan standar (imajiner) yang ada di Indonesia. Entah itu baju yang terlalu terbuka, rok yang terlalu pendek, atau pakaian yang terlalu ketat dan memeluk tubuh—hal-hal tersebut menjadi kambing hitam yang kerap disalahkan pertama kali tiap ada korban yang membuka suara atas pelecehan yang dialaminya. Padahal, dalam banyak kasus pelecehan seksual, pakaian bukan menjadi faktor utama pelecehan itu terjadi lho, gaes. Saya masih ingat ketika beberapa waktu lalu, media sosial sempat dihebohkan oleh sebuah foto perempuan paruh baya berjilbab yang menjadi korban pelecehan seksual di angkutan umum. Oh, dan by the way, saat saya mengalami catcalling, saya memakai celana panjang dan jaket tertutup. Nah, sekarang bayangin deh, ketika perempuan yang udah berjilbab dan berpakaian tertutup aja masih menjadi korban pelecehan, berarti ‘kan masalahnya bukan ada pada pakaian yang terbuka atau nggak. Satu-satunya yang menjadi masalah dalam kasus pelecehan seksual, adalah pelaku yang nggak bisa menahan nafsunya dan nggak mampu untuk menempatkan diri selayaknya manusia lain yang punya akal dan logika. It’s simple really. Orang hanya butuh belajar menghormati perempuan tanpa peduli tentang pakaian atau penampilannya, serta berhenti melihat tubuh perempuan sebagai sebuah obyek seksual. Nggak susah ‘kan? Mulai Melawan Gaes, meski kamu nggak menjadi korban pelecehan seksual, kamu bisa lho bergerak untuk membantu mencegah atau menghentikan kasus pelecehan yang terjadi di sekitarmu. Dirangkum dari Hollaback, ada 5 hal yang bisa kamu lakukan jika kamu menyaksikan sebuah tindak pelecehan di depan matamu. Ingat, sebagai warga negara, kita semua memiliki hak untuk dapat merasa aman dan nyaman di ruang publik. Dan baik itu perempuan maupun laki-laki, bersama kita bisa menghentikan dan mencegah segala bentuk tindak pelecehan yang ada di sekitar kita. (artikel ini dipublikasikan pada 13 Desember 2017 dengan tautan: https://rencanamu.id/post/sudut-pandang/ketika-cantik-bukan-lagi-pujian-dan-ruang-publik-tak-lagi-aman-untuk-perempuan)
Copyright © All rights reserved | Created by dimasutomo | Base template is made by Colorlib | Built with Python