Sudah Saatnya Kita Mulai Bicara Soal Depresi
July 16, 2020
Depresi tentunya bukan sebuah hal yang asing lagi di telinga banyak orang. Nggak susah buat kamu untuk menemukan kata ini ditulis di macam-macam postingan media sosial anak-anak kekinian. Depresi karena nilai jelek, depresi karena di-php-in gebetan, depresi karena berantem sama sahabat, depresi karena dimarahin orang tua, depresi karena nggak keterima di perguruan tinggi idaman… Wait. Apakah itu benar-benar depresi? Apakah depresi semudah itu untuk dipamerkan dan diumbar-umbar lewat status dan quotes-quotes estetik bernada sedih a la Tumblr? Apakah depresi hanya sebatas rasa sedih yang datang saat kita tengah menghadapi kegagalan? Apakah depresi se-sederhana itu? Jawabannya adalah nggak, sob. Depresi itu bukan semata-mata rasa galau yang muncul saat kamu tau mantan kamu tiba-tiba punya pacar baru, atau bad mood ketika orangtua kamu memarahimu habis ambil rapot. Depresi adalah gangguan mental serius yang melibatkan perasaan sedih berkepanjangan pada seorang individu. Depresi nggak hanya mempengaruhi kondisi psikis dari penderitanya, tapi juga berdampak pada kesehatan fisik dan stabilitas emosinya. Orang dengan gangguan depresi merasakan perasaan ‘kosong’ dan sedih yang begitu mendalam dan berlarut sampai-sampai mereka merasa nggak mampu lagi untuk menjalankan tugas sehari-hari kayak bangun tidur, makan, atau sekolah. Di kasus-kasus terburuknya, depresi bahkan menjadi penyebab utama dari bunuh diri. Waduh. Serem, ya? Bukan Sekedar Galau Seperti yang sudah saya bilang sebelumnya, depresi bukanlah sekedar perasaan galau atau bad mood. Butuh serangkaian tes yang dilakukan oleh seorang psikiater professional untuk menentukan apakah seseorang mengidap gangguan depresi atau tidak. Walaupun saya nggak menyangkal juga, kalau hal-hal yang sempat saya sebutkan di atas tadi bisa jadi merupakan faktor munculnya depresi—dalam kasus ini, adalah depresi di kalangan anak muda. Kalau gitu, apa tanda-tanda depresi? Menurut mayoclinic.com dalam sekali episode depresi, seseorang bisa merasakan beberapa hal di bawah ini; Gejala-gejala ini biasanya muncul dengan intensif dan terus-terusan selama berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan. Inilah yang menyebabkan penderita depresi sampai kesulitan untuk melakukan kegiatan sehari-hari. Bayangin, kamu terus-terusan dihantui perasaan sedih dan nggak berharga, sampai-sampai kamu merasa hidup ini udah nggak worth lagi untuk dijalani. Dalam sebuah video kampanye soal depresi dari WHO yang bertajuk #LetsTalk, Angelo, seorang penderita depresi mencurahkan perasaannya terkait gangguan mental yang ia derita. “Aku tidak ingin meninggalkan rumah. Pergi bekerja rasanya sangat sulit. Berbicara rasanya juga sulit. Tidur pun begitu. Berpikir? Sangat, sangat sulit” Pendapat lainnya datang dari Jayne yang diinterview oleh BBC terkait depresi yang dideritanya. “Bangun tidur di pagi hari rasanya hampir nggak mungkin. Aku hanya ingin bersembunyi di bawah selimut sepanjang hari dan mem-pause semuanya. Aku rasanya seperti ingin berhenti hidup agar rasa sakit ini berhenti” See? Depression is that bad, people need to stop treating it as a normal bad mood. Depresi: Statistika dan Stigma Tahun 2014 silam, Dr. Ramin Mojtabai dari Universitas John Hopkins di Baltimore AS melakukan survey kepada lebih dari 172.000 remaja dan 179.000 orang dewasa terkait gangguan mental khususnya depresi. Hasilnya, sebanyak 11,3% responden dengan rentang usia 12 – 17 tahun didiagnosa menderita depresi, dan untuk usia 18 – 25 tahun jumlahnya adalah 9,6%. Sementara itu, secara umum WHO menyatakan bahwa sebanyak 300 juta orang di dunia terdiagnosa menderita depresi. Jumlah ini diramalkan akan terus bertambah hingga pada 2020 nanti, depresi memiliki kemungkinan untuk menjadi penyebab kematian utama ke-2 di dunia. Angka yang cukup mengejutkan ya? Tapi itu lah kenyataan yang ada saat ini. Sedihnya lagi, tingginya angka penderita tersebut nggak diiringi dengan peningkatan pada jumlah kunjungan mereka ke tenaga profesional terkait—seperti psikiater atau psikolog. Satu dari lima orang terdiagnosa mengidap gangguan mental, tapi hanya sepertiga dari mereka yang berani membuka diri dan mendapatkan perawatan professional. Kenapa? Stigma adalah jawabannya. Kamu pernah nggak sih, lagi sedih terus dinasihati dengan kata-kata “sedih terus, hidup mah dibawa santai aja” atau “nggak usah terlalu dipikirin lah” atau “harusnya kamu bersyukur, orang lain mungkin kondisinya lebih buruk dari kamu”. Kata-kata tersebut terdengar harmless ‘kan? Apa salahnya dengan nyuruh move-on atau bersyukur? Sayangnya, ini nggak berlaku untuk orang-orang dengan depresi. Pandangan masyarakat yang masih melihat depresi hanya se-cetek “galau dan bad mood” membuat banyak penderita gangguan mental ini enggan untuk open-up kepada orang lain tentang apa yang tengah ia alami. Bayangin, ketika kamu lagi berada di titik terendah, eh pas curhat ke orang lain kamu malah dihadapkan dengan kata-kata yang kesannya meremehkan apa yang kamu rasakan. Pasti nggak enak banget, ‘kan? Belum lagi soal stigma yang melekat pada lembaga-lembaga kesehatan jiwa. Banyak lho penderita depresi dan gangguan mental lainnya yang enggan untuk memeriksakan dirinya ke psikiater hanya karena takut dicap ‘gila’ oleh lingkungannya. Padahal, daripada mereka mendiagnosa diri sendiri lewat informasi di internet yang nggak jelas kredibilitasnya, lebih baik langsung datang ke psikiater agar bisa mendapatkan penanganan yang semestinya. Mendengarkan Sebagai Sebuah Langkah Awal Setelah tahu dan paham soal masalah yang dihadapi oleh para penderita depresi, pertanyaan yang selanjutnya muncul adalah: apa yang bisa kita lakukan untuk membantu? Bagaimana seharusnya kita memperlakukan orang-orang yang menderita depresi? Well, langkah awal yang bisa dilakukan adalah dengan mendengarkan. Let them know that they have someone they can trust; you. Biarkan mereka mencurahkan perasaanya tanpa banyak komentar apalagi menghakimi secara sepihak. Jika mereka sudah berani untuk bercerita, tentunya akan lebih mudah buat kamu untuk membantu mereka mencari bantuan profesional dalam mengatasi depresinya. Percaya deh sama saya, hal-hal sederhana kayak menyediakan waktu kamu untuk mendengarkan cerita dari para penderita depresi bisa berarti banyak untuk mereka. Hal itu memberikan mereka harapan dan alasan untuk tetap berjuang—karena setidaknya mereka tahu bahwa mereka nggak sendiri lagi dalam menanggung bebannya. Mereka punya kamu yang bisa dipercaya. Lalu, gimana kalau kita sendiri yang merasakan gejala-gejala depresi? Reaching out ke orang-orang terdekat bisa jadi langkah awal. Kamu juga boleh banget kok kalau mau langsung berkonsultasi ke psikiater untuk segera mendapatkan perawatan yang sesuai. Apapun yang kamu lakukan, ada satu hal penting yang harus diperhatikan: jangan melakukan self-diagnosis apalagi mencari jalan keluar sendiri dengan mengkonsumsi obat-obatan tanpa resep. Ingat, hanya psikiater yang berwenang untuk memberikan diagnosis akan gangguan mental berikut resep obat untuk mengatasinya. So guys, please remember: it is okay to reach out, it is okay to seek help. Depresi nggak berarti kalian lemah—kalian sama kuatnya dengan orang lain, kalian sama berdayanya dengan orang lain, kalian sama berharganya dengan orang lain. Bersama-sama kita bisa mematahkan stigma, dan menciptakan lingkungan yang ramah bagi penderita gangguan kesehatan mental. (artikel ini dippublikasikan pada 10 Oktober 2017 dengan tautan: https://rencanamu.id/post/fun/you-have-to-see-this/sudah-saatnya-kita-mulai-bicara-soal-depresi)
Copyright © All rights reserved | Created by dimasutomo | Base template is made by Colorlib | Built with Python